Jumat, 09 April 2010

Bolehkah memelihara anjing?

Anjing dan patung dalam Islam mutlak diharamkan berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung/gambar makhluk hidup” (lihat Shahih Muslim II hal 245). Dari hadits ini larangan dalam hal anjing dan patung/gambar hidup dikaitkan dengan keberadaan malaikat rahmat di rumah kaum muslimin. Tidak ada kaitannya dengan iman para sahabat yang masih lemah.Seperti yang dituduhkan oleh segelintir orang yang tergabung dalam faham liberal.

Dalam hadits yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Telah berjanji malaikat Jibril dengan Rasulullah saw. bahwa Jibril akan datang ke rumah Nabi, tetapi Jibril terlambat datang, sehingga membuat Nabi gusar. Lalu Nabi ke luar rumah menunggu-nunggu, maka beliau berjumpa dengan malaikat Jibril. Dan mengatakan halnya akan Jibril. Lalu Jibril berkata kami malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar hidup/patung dan anjing” (HR. Bukhari, Shahih Bukhari IV hal 33). Di dalam hadits yang hampir sama dengan hadits ini yang diriwayatkan oleh imam Muslim ada dijelaskan bahwa malaikat Jibril tidak jadi datang ke rumah Nabi dan hanya menunggu di luar rumah karena ada anjing yang menyelinap masuk ke kolong tempat tidur Nabi.

Dalam hadits yang lain Nabi bersabda, ”Barangsiapa memelihara anjing terkecuali anjing pemburu dan penggembala, maka berkuranglah pahala amalan-amalannya setiap hari sebesar 2 qirath (HR. Bukhari dan Muslim).

Ada satu kesalahan sebagian umat Islam dalam memahamkan anjingnya shohibul kahfi. Mereka menganggap para wali Allah yang sholih yang dimatikan Allah dalam goa selama 309 tahun itu memelihara anjing. Padahal, anjing itu bukan anjing peliharaan mereka. Anjing itu adalah anjing liar yang ikut mereka dan menjaga mereka di luar goa, tepatnya di depan pintunya. Jadi bukan anjing peliharaan yang dibawa-bawa seperti yang biasa terlihat di kota-kota besar di Indonesia sekarang ini!

Adapun mengenai patung dan gambar hidup sama sekali tidak berkenaan iman sahabat yang masih lemah. Menyatakan dan mempercayai bahwa iman sahabat lemah sehingga masih dikhawatirkan akan kembali menyembah patung adalah sebuah penghinaan terhadap sahabat-sahabat Nabi. Pasalnya, Allah sendiri telah memuji sahabat sebagai orang yang diridhai oleh Allah dan mereka pun telah ridha kepada Allah. (lihat surat At Taubah: 100).

Nabi ada bersabda, “Dari Muslim bin Shabih beliau berkata: adalah kami bersama Masruq bin Ajda’ dalam rumahnya Yasar bin Numair. Masruq melihat pada beranda rumah itu ada patung, Masruq berkata: Saya mendengar Abdullah berkata saya mendengar Rasulullah bersabda bahwasanya manusia yang paling keras siksaannya di hari kiamat adalah pembuat patung. (HR. Bukhari). Rasulullah juga ada bersabda: Bahwasanya yang membuat patung ini akan disiksa di hari kiamat dan dikatakan kepadanya: hidupkan (tiupkan nyawa) apa yang kamu buat ini!” (HR. Bukhari).

Dalam hadits yang lain diriwayatkan: dari Ummil Mukminin Aisyah Ra. berkata beliau: Datang Rasulullah saw. dari perjalanan (perang tabuk), padahal aku menutupi serambi rumahku dengan kain yang ada gambar lukisan makhluk hidup. Lalu Nabi melihat gambar itu serta merta beliau menurunkannya. Kemudian Nabi bersabda: “Manusia yang paling keras siksaannya di hari kiamat adalah orang yang menyerupai perbuatan Allah (menggambar makhluk hidup). Siti Aisyah berkata, kemudian kain itu aku potong-potong dan aku jadikan satu atau dua bantal. (HR. Bukhari).

Hadits ini menjelaskan bahwa yang mengalami masalah gambar ini adalah Baginda sendiri dan Aisyah Ra. mungkinkah larangan tersebut berkenaan dengan iman Nabi dan Aisyah yang masih lemah? Apalagi hadits ini terjadi saat peperangan Tabuk jauh setelah Nabi hijrah ke Madinah bahkan mendekati tahun wafatnya Baginda. Dari keterangan ini putuslah anggapan kelompok islam moderat yang mengatakan larangan tentang adanya patung dan gambar makhluk hidup berkenaan dengan iman yang lemah.

Adapun mengenai boneka yang bertujuan untuk memperkenalkan anak-anak kecil akan makhluk hidup menurut Imam Nawawi masih diizinkan dan dibolehkan. Begitu juga dengan gambar yang tidak menyerupai makhluk hidup seperti wayang kulit Jawa dan lainnya masih diperbolehkan dalam Islam. Begitu juga dengan foto dan film yang bersifat memindahkan bayangan juga hukumnya boleh. Wallahu a’lam

Sumber : www.tengkuzulkarnain.net

Read More or Baca Lebih Detil..

Perlukah Bermazhab?

Saat ini ada beberapa Statement yang mengatakan bahwa bermahzab itu membuat perpecahan di antara kaum muslimin. Apakah Statement ini benar? Dan kenapa kita bermazhab? Haruskah kita bermahzab?

Agama, jika dikaitkan dengan Allah, disebut Ad - Din sebagaimana ayat Al Qur’an menyatakan: “Innaddina ‘indallahil Islam” , Sesungguhnya Ad – Din di sisi Allah hanya Islam. Sedangkan jika agama dikaitkan dengan nabi, maka istilah yang dipakai dalam al Quran adalah “Millah”. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an: “Dinnan Qiyyaman Millata Ibrahima Hanifan”, Agama yang lurus disisi Allah adalah millahnya nabi Ibrahim. Apabila agama dikaitkan dengan ulama istilah yang dipakai adalah Madzhab, artinya jalan. Madzhab Hanafi artinya pemahaman agama menurut Qur’an dan sunnah yang digali oleh Imam Hanafi Ra. Begitu juga Madzhab Syafi’i adalah pemahaman agama yang digali oleh Imam Syafi’i Ra.

Sebagai orang awam kita tidak mampu menggali Al Qur’an dan sunnah secara langsung sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Imam Mujtahid. Hal ini karena keterbatasan ilmu alat yang kita miliki. Para ulama mengatakan minimal mesti menguasai 15 ilmu alat seperti, Nahwu, Sharaf, bayan, balaghah, asbabun nuzul, Asbabun Wurud, dll, di samping hafal Al Qur’an 30 Juz dan menghafal hadits puluhan ribu. Jika hal ini terpenuhi, barulah seseorang berhak dan cukup mumpuni untuk menggali sendiri hukum dari Al Qur’an dan sunnah tanpa bertaqlid kepada orang lain. Itu pun tentunya mesti dibekali iman dan akhlak yang mulia pula!

Imam Hanafi Ra. Seorang alim besar yang hafal Qur’an dan sempat berguru kepada 8 orang sahabat nabi, satu di antaranya Anas bin Malik Ra. Sementara Imam Maliki dan Imam Syafi’i menghafal 600 ribu hadits, dan Imam Hambali menghafal 1 juta hadits, di samping tentunya sudah hafal Al Qur’an sejak masa kanak-kanak. Dari sini dapat difahami bahwa tentu saja semua fatwa mereka tidak akan bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits yang mereka hafal. Adalah sangat mustahil jika para ulama besar ini berfatwa menurut akal mereka semata-mata, dengan mencampakkan ratusan ribu hadits yang mereka hafal selama ini. Sudah lah pasti mereka berfatwa dan berhujjah dalam menegakkan hukum agama dengan memakai hadits yang mereka hafal itu.

Sayangnya, akhir-akhir ini beredar fitnah terhadap para ulama madzhab. Mereka yang mulia ini dituduh telah memuat fatwa-fatwa yang menentang hadits-hadits rasul di dalam kitab-kitab karangan mereka. Sesungguhnya ini adalah tuduhan keji dan tidak memiliki bukti sama sekali. Seluruh dunia tahu betapa para imam madzhab adalah orang-orang yang sangat takut kepada Allah dan sangat mencintai sunnah-sunnah Rasulullah SAW. yang banyak dijumpai justru orang-orang anti madzhab kebanyakan terdiri dari orang-orang yang hatinya keras, kasar, angkuh, selalu menganggap rendah orang lain, serta mau menang sendiri

Pentingnya Taqlid

Sebagai orang awam yang tidak menguasai ilmu alat, maka kita mesti taqlid kepada salah satu Imam yang ada. Allah pun memerintahkan dalam Al Qur’an: “Fas alu ahladz dzikri in kuntum la ta’ lamun” artinya “Dan tanyalah ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui” maksudnya ikutilah pendapat ahli ilmu (ulama besar Madzhab) dan jangan sok tahu apalagi lancang menggali sendiri Al Qur’an yang luasnya tidak cukup dijabarkan andai air laut menjadi tintanya sekalipun!

Mengikuti madzhab tidaklah menyebabkan umat terpecah belah, karena perbedaan antara madzhab hanya pada ranting-rantingnya saja, dan bukan pada masalah pokok agama. Yang menyebabkan perpecahan selama ini adalah kelompok orang yang tidak mau bermadzhab kepada salah satu Imam Mujtahid, padahal kenyataannya terjebak dan bermadzhab kepada guru-guru mereka dalam kelompok madzhab baru pula yaitu kelompok madzhab anti madzhab. Kelompok inilah yang selama ini menimbulkan kerawanan karena sangat rajin menuduh golongan di luar faham mereka sebagai kelompok yang sesat bahkan dicap sebagai calon penghuni neraka semuanya.! Na’udzubillah.

Bahayanya Talfiq

Talfiq adalah mencomot-comot dengan seenaknya sendiri pendapat-pendapat Imam Madzhab yang empat karena ingin mencari yang termudah baginya. Hal ini sangat berbahaya dan merusakkan sendi agama. Zaman sahabat nabi dahulu, para sahabat memang bertanya atau meminta fatwa kepada beberapa sahabat yang alim kemudian mereka mengikuti pendapat atau fatwa tersebut. Terkadang mereka bertemu dengan sahabat yang lain, kemudian meminta fatwa dari sahabat yang lain itu. Setelah itu sahabat ini mengamalkan fatwa sahabat yang alim yang baru ditanyanya ini. Tetapi, perlu dicatat bahwa sahabat senantiasa mengamalkan fatwa yang terberat dari para sahabat yang alim. Sahabat yang awam bertaqlid kepada mereka yang alim.

Menurut catatan hanya sekitar 124 orang sahabat nabi yang mampu berfatwa dari 124 ribu orang sahabat yang ada. Ini berarti lebih dari 123 ribu sahabat hanya bertaqlid kepada sahabat yang mujtahid. Ternyata hanya seperseribu sahabat saja yang mau dan mampu berfatwa!

Baru-baru ini kami menerima SMS dari seorang Kiyai Anti Madzhab. Orang ini mengatakan boleh saja kita mengambil pendapat-pendapat yang paling ringan dari fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang empat untuk kita amalkan. Alasan orang ini mengatakan demikian karena para sahabat nabi juga melakukan hal yang sama. Saat itu kami menjawab bahwa akan rusak binasa jika hal itu dilakukan. Setelah terjadi perdebatan agak panjang melalui SMS akhirnya kami memberikan contoh sebuah ilustrasi bahaya dan kacaunya pendapatnya itu.

Ilustrasi itu sebagai berikut:

Ada di sebuah desa seratus pemuda yang pergi ke Masjid untuk shalat dzuhur berjamaah dengan hanya memakai cawat saja, tanpa pakai yang lain. (ini adalah pendapat yang paling ringan dalam madzhab Hanafi dalam menutup aurat bagi pria). Seratus pemuda bercawat ini ramai-ramai berjalan ke Masjid sementara tangan kanan mereka menggandeng pacar wanita mereka masing-masing tanpa alas tangan (ini adalah fatwa paling ringan dalam madzhab Maliki, tidak batal wudhu’ bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya). Hebatnya di tangan kiri mereka masing-masing menggiring seekor anjing pula sambil dibawa berjalan menuju masjid (dalam madzhab Maliki anjing tidak najis). Sejurus kemudian parkirlah 100 ekor anjing di depan Masjid tersebut, lalu seratus orang pria bercawat tadi di dalam masjid shalat berjemaah dengan 100 orang wanita, pacar mereka itu.

Nah, bagaimanakah perasaan umat Islam melihat hal ini……? Rusak bukan……..?

Dari uraian ini jelaslah bagi kita betapa pentingnya mengikuti fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang telah tertulis rapi bab demi bab, pasal demi pasal, dan disokong oleh dalil-dalil naqli dan aqli yang sangat bernas dan bermutu. Ibarat makanan sudah rapi terhidang di atas meja, tinggal menyantapnya saja tanpa harus susah payah mencari dan memasak makanan baru yang belum tentu baik. Salah-salah karena tidak ahli makanan beracunlah yang akan kita olah sebagai gantinya akibat ketidak tahuan kita akan ilmu makanan.

Sepanjang sejarah terbentang 4 madzhab yang ada telah jelas berjasa membimbing umat se-dunia ke dalam kejayaan Islam. Sementara kelompok anti madzhab terbukti selama ini selalu menimbulkan percekcokan dimanapun mereka berada. Ada hal yang terlupakan selama ini bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat. Meskipun tidak otomatis itu berarti bahwa persatuan adalah laknat, sebagai mana yang sering dilansir selama ini untuk menggusur madzhab yang ada.

Sumber : www.tengkuzulkarnain.net
Read More or Baca Lebih Detil..

Apa itu bid'ah ?

Bid’ah secara bahasa berasal dari kata bada’a yang artinya iftira-u syai-in min ghairi mitsaalin saabiqin: “membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya”. Allah membuat alam semesta ini secara bid’ah sesuai dengan Firman-Nya yang berbunyi : “badi’ussamawati wal ardh”, artinya: “Allah menciptakan alam semesta ini secara bid’ah, yakni tanpa ada contoh sebelumnya”.

Imam ‘Izzudin bin Abdis Salam dan Imam Suyuti mengatakan bid’ah itu terbagi 5 yaitu: bid’ah wajib, bid’ah sunat, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Masuk dalam bid’ah yang wajib adalah mengkitabkan al qur’an dan menyempurnakan penulisannya dengan menambahi titik dan baris baris dalam penulisannya. Ini adalah suatu pekerjaan yang bid’ah, yang jelas tidak ada dilakukan di zaman rasul. Tapi ini hukumnya wajib, karena jika tidak dilakukan maka akan musnahlah al qur’an dan salah serta tersesatlah orang-orang dalam membacanya.

Bid’ah yang sunat seperti yang dibuat oleh Khalifah Umar yang melarang orang sholat tarawih tanpa berjama’ah di bawah komando seorang imam, Ubay bin Ka’ab setiap malam selama bulan Ramadhan. Padahal di zaman nabi, orang-orang melaksanakan sholat masing-masing, atau berserakan dalam jama’ah jama’ah kecil ketika bertarawih di masjid Nabawi. Kedua hal ini, yakni memerintahkan sholat di bawah satu imam, dan terus-menerus pula dilakukan dalam bulan Ramadhan, sudah disepakati oleh seluruh jama’ah para sahabat nabi sebagai amalan yang sunnah, bukan bid’ah. Dan, sampai hari ini sudah berjalan 14 abad amalan itu masih berlanjut di masjid Nabawi di Madinah serta di masjidil Haram di makkah, juga di seluruh dunia Islam.

Bid’ah mubah, contohnya membuat menara masjid, mihrab untuk imam dalam masjid, dan lain-lain yang sejenis. Bid’ah makruh, contohnya, menuliskan ayat-ayat al-Qur’an pada dinding-dinding masjid, dinding sekolah, atau rumah, secara permanen, sebab dapat merendahkan derajat ayat-ayat al Qur’an yang dituliskan itu. Bid’ah haram adalah melanggar ibadah yang telah qath’i (pasti) dalilnya, seperti menambah sholat subuh lebih dari dua rakaat, atau melakukan puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan, dan lain-lain.

Imam Syafi’i Rahimahullah dalam riwayat Imam Baihaqi menyatakan bahwa bid’ah itu terbagi dua, yaitu bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah madzmumah(bid’ah tercela). ( Lihat Al Hawi lil Fatawi, Imam Suyuthi).



Imam Syathibi dalam kitab Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah itu hanya ada satu jenis saja, yakni semua bid’ah adalah sesat dan para pelakunya semua akan masuk neraka. Ada banyak juga kaum muslimin yang menjadi pengikut pendapat Imam ini. Sayangnya, terkadang mereka, para pengikutnya tidak istiqamah dalam menerapkan definisi bid’ah itu pada diri mereka sendiri. Mereka rajin menuduh amalan orang lain bid’ah, padahal di sisi lain, mereka sendiri secara terang-terangan membuat bid’ah juga tanpa takut neraka sedikitpun.

Contoh yang ingin saya kemukakan adalah amalan di Saudi Arabia, di mana para penganut faham Imam Syathibi ini ternyata banyak melakukan bid’ah pula di sana. Antara lain dengan menukar Jumrah Aqabah, wustha dan ula di Mina, dari dulunya di zaman nabi berbentuk tiang, kini menjadi tiga buah dinding yang lebarnya lebih dari 10 meter. Dengan demikian, posisi melontar bagi jamaah haji sudah bergeser jauh dari posisi sebelumnya, yakni posisi yang ditentukan Rasulullah . Begitu juga dengan tempat Mabit jama’ah haji di Mina. Sekarang ini Mina sudah dikosongkan dalam radius 4 kilometer dan tidak boleh ada jama’ah haji yang membuat kemah serta melakukan mabit di daerah radius 4 kilometer ini. Sebagai gantinya, mereka menembus gunung dengan membuat terowongan, dan membuat tempat baru untuk Mabit jama’ah haji di seberang gunung itu. Tentu saja setelah terlebih dahulu mengganti nama tempat itu menjadi Mina Baru. Mina Baru ini kemudian ditetapkan sebagai tempat mabit jama’ah Asia Tenggara. Dan, sebagian jama’ah haji yang lain lagi terpaksa Mabit di Muzdalifah karena Mina’ telah digusur. Padahal telah masyhur diketahui bahwa Nabi mewajibkan seluruh jama’ah haji untuk mabit pada tiga hari Tasyriq itu. Dan, mabit itu kata Nabi, wajib pula dilakukan di Mina, dan bukan di tempat lain!

Jika saja mereka konsisten dengan pendapat mereka selama ini, yang mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, di mana para pengamalnya kelak akan masuk neraka. Lantas apakah perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan selama ini bukan bid’ah yang sesat? Kalau mereka katakan semua itu adalah bid’ah yang baik, berarti mereka selama ini telah berbohong kepada umat dengan berteriak-teriak mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat belaka!

Semoga keterangan ini dapat membawa wacana yang jernih pada anda, sehingga dapat memilih pendapat mana yang lebih indah untuk diamalkan.

Wallahu A’lam Bishshowab.

Sumber : www.tengkuzulkarnain.net

Read More or Baca Lebih Detil..

Hadist Dho'if, Bagaimana Menyikapinya?

Sebagian dari kaum muslimin mendudukan hadist dho'if seperti halnya hadist maudhu' atau buatan lantas bagaimana kedudukan hadist itu sendiri dalam hukum islam dan bagaimana kita menyikapi hadist dho'if itu?

Hadits dho'if tidaklah sama dengan hadits maudhu'. Hadits dho'if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!

Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur'an! Tuliskanlah al Qur'an. (HR Muslim).

Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.

Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid'ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta'biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid'ah yang hasanah alias bid'ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid'ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).

Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.

Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu', yang pada hakekatnya hadits palsu.

Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma'nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu' dll.

Kedudukan hadits Dhoif

Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu'. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari'ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi'i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a'mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.

Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).

Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!

Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.

Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.

Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.

Ulama hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?

Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?

Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.

Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.

Sumber: www.tengkuzulkarnain.net
Read More or Baca Lebih Detil..

Sholawat Kepada Nabi dengan Cara yang Beradab

Pada zaman sahabat dahulu, mereka terbiasa memanggil Nabi dengan sebutan yang sederajat seperti memanggil kawan-kawan mereka. Panggilan yang paling popular adalah ‘Ya Muhammad, Ya Ibnu Abdullah, Ya Muhammad bin Abdullah, dan Ya Abal Qosim’ (Wahai bapak Al Qosim, menunjuk kepada putera Nabi yang tertua bernama Al Qosim). Kebiasaan memanggil nama sederajat seperti panggilan sesama teman, kemudian dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Panggilan yang diperbolehkan adalah menyertakan pangkat yang layak untuk Nabi seperti: ‘Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah’. (Lihat surat An Nur ayat 63 dalam Tafsir Ibnu Katsir, cetakan Darul Hadist, Qohirah, Mesir jilid VI, halaman 100).

Dalam tafsir Ibnu Katsir tersebut, Muqotil bin Hayyan mengatakan tentang tafsir ayat ini: “Janganlah engkau menyebut nama Nabi Muhammad jika memanggil Beliau dengan ucapan: ‘Ya Muhammad’ dan janganlah kalian katakan: ‘Wahai anak Abdullah’, akan tetapi Agungkanlah Beliau dan panggillah oleh kamu: ‘Ya Nabiyallah, Ya Rasulullah’.”



Imam Maliki, dari Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang arti surah An Nur ayat 63 di atas: “Telah memerintahkan Allah kepada sahabat Nabi dan kaum muslimin agar mengagungkan dan memuliakan Nabi.”

Berkata Ad Dahhak dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat diatas: “Dahulu para sahabat memanggil Nabi dengan panggilan ‘Ya Muhammad, Ya Abal Qosim’, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang mereka dari panggilan seperti itu demi mengagungkan Nabi-Nya. Maka para sahabat memanggil Nabi dengan panggilan ‘Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah’.” Pendapat ini juga dipegang oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu.”

Setelah larangan Allah tersebut diturunkan, maka serentak seluruh sahabat Nabi meninggalkan cara menyebut atau memanggil nama Nabi seperti memanggil teman biasa, dan mereka mengubahnya menjadi ‘panggilan kehormatan’, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat An Nur ayat 63 tersebut: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).....”

Meskipun keterangan di atas sudah terang dan jelas, kenyataannya di zaman modern ini, masih ada juga sekelompok orang yang sudah dianggap golongan ‘intelektual Islam’ berani dengan lancar tanpa merasa bersalah menyebut dan memanggil nama Nabi tanpa gelar kehormatan. Entah karena terlalu sering membaca buku-buku karangan orang-orang Orientalis yang memang tidak menaruh rasa hormat kepada Rasulullah atau karena malas berpanjang-panjang menyebutkan nama Nabi bersama dengan ‘gelar kebesaran’ beliau. Apalagi jika mesti menambahkan ucapan ‘Shallallahu ‘Alaihi Wasallam’ setelah menyebut nama Nabi. Padahal, semua ini sudah diperintah Allah dan RasulNya untuk diamalkan.

Adapun jika mereka dianggap tidak tahu tentang larangan pada surat An Nur ayat 63 tersebut di atas, rasanya agak sulit diterima akal, sebab mereka dikenal sebagai orang yang tergolong intelektual, bukan golongan orang-orang awam apalagi orang-orang jahil (bodoh).

Dengan melihat kenyataan ini, rasanya setiap individu muslim wajib saling ingat-mengingatkan terhadap sesama saudara kita yang mulai rajin memanggil Nabi sedemikian itu. Jika tidak demikian, maka akan semakin banyak jumlah orang yang memanggil Nabi dengan panggilan rendahan itu. Apakah pantas kita umat Islam yang mengaku pengikut Qur’an dan Sunnah kemudian memanggil Nabi kita dengan panggilan “Muhammad” saja tanpa gelar…? Sementara memanggil seorang Ketua RT saja kita menyebut Pak RT. Apalagi memanggil seorang Presiden, orang akan melekatkan bermacam-macam gelar kehormatan dan kemuliaan! Nah, bagaimana dengan memanggil seorang Rasul yang merupakan semulia-mulia makhluk ciptaan Allah....?

Rasul telah bersabda dalam hadisnya yang masyhur: “orang yang kikir adalah orang yang tidak mau bersholawat kepadaku ketika namaku disebut di dekatnya.” Sementara Allah sendiri di dalam Al Qur’an yang suci senantiasa bersholawat dengan meletakkan pangkat kebesaran Nabi ketika Allah menyebutkan nama Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Selain kebiasaan memanggil Nabi dengan ‘panggilan rendahan’ itu, akhir-akhir ini beredar juga sebuah ajaran baru yang mengatakan bahwa menyebut atau memanggil nama Nabi dengan memakai ‘gelar’ di dalam lafazh sholawat adalah suatu perbuatan bid’ah. Dan mereka dimana-mana secara tegas mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan akan dicampakkan ke dalam neraka. Oleh karena itu mereka mengatakan bersholawat kepada Nabi cukup dengan ucapan, “Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala ali Muhammad” saja tanpa gelar-gelar yang menunjukkan kebesaran Nabi. Padahal kalau Sholawat ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah: "Ya Allah berilah rahmat kepada si Muhammad dan Keluarga si Muhammad". Kurang beradab, bukan.....? Alasan mereka bershalawat seperti itu karena tidak ada didapati sepotong hadis pun dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengajarkan bersholawat dengan menyertakan ‘gelar’ pada nama Nabi

Benarkah demikian adanya…?

Kami mencoba meneliti beberapa potong hadis dari beberapa kitab hadis dan alhamdulillah kami menemukannya. Berikut ini kami sampaikan beberapa hadis tentang sholawat yang memakai gelar saat menyebut nama Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

1. Dari Abu Sa’id Al Khudri ra.hu dia berkata, kami pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulallah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tetapi bagaimanakah cara kami bersholawat kepadamu?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Ucapkanlah oleh kamu sekalian, “Allahumma sholli ‘ala Muhammadin ‘abdika wa rasulika kama shollaita ‘ala Ibrohim..( Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu kepada Ibrohim..).” (Hadis Riwayat Bukhari, Bab Sholawat Atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam no.6358).
2. Dari Abu Hurairah ra.hu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau telah bersabda, “Barangsiapa ingin pahalanya ditimbang dengan timbangan yang lebih berat dan sempurna ketika bersholawat atas kami, dan bersholawat atas ahli bait kami, hendaklah orang itu mengucapkan sholawat seperti ini: “Allahumma sholli ‘ala Muhammadinin Nabiyyi wa azwajihi ummahatil mu’miniina wadzuriyyatihi wa ahli baitihi kama shollayta ‘ala ali Ibrohim innaka hamiidun majid” (Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada Muhammad sang Nabi itu, juga kepada isteri-isterinya sebagai ibu-ibunya orang mu’min, kepada keturunan beliau dan keluarga beliau sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu kepada keluarga Ibrohim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (Hadis Riwayat Abu Dawud, Bab Sholawat Atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Sholat Setelah Tasyahhud, nomor 982).

Keterangan dua hadis di atas cukup untuk menjadi bukti bagi kita bahwa bersholawat dengan menyertakan pangkat ketika menyebut nama Nabi adalah sebuah perbuatan yang sunnah, bukan bid'ah, sebagaimana yang sering dituduhkan oleh segelintir orang di kalangan ummat Islam selama ini. Justru sholawat dengan memakai gelar telah diperintahkan oleh Nabi dalam hadis-hadis shohih, bahkan telah menjadi amalan para Sahabat, dan generasi Salafus Sholih.

Wallahu a’lam bishshowab

Sumber : www.tengkuzulkarnain.net
Read More or Baca Lebih Detil..

Pakaian, Kerudung, dan Cadar

Pada awal mula nenek moyang manusia, Nabi Adam Alaihis Salam dan Hawa Alaihas Salam diciptakan Allah di surga, keduanya diberi pakaian yang indah dan agung untuk menambah kewibawaan keduanya di hadapan para malaikat di surga Allah itu. Tidak pernah dua orang manusia agung yang pertama diciptakan Allah ini membuka aurat sejak hari pertama mereka diciptakan. Kemudian Allah memerintahkan agar keduanya tidak mendekati sebuah pohon larangan di surga tersebut, apalagi sampai memakan buahnya. Namun, ternyata Hawa Alaihis Salam tidak tahan mendengar rayuan Iblis untuk memakan buah larangan tersebut. Kemudian beliau mengajak suaminya, Nabi Adam yang mulia, untuk bersama-sama memakan buah itu.

Ringkasnya, setelah keduanya memakan buah larangan itu, maka terbukalah aurat keduanya. Dengan rasa malu yang amat sangat, kedua manusia agung yang pertama diciptakan Allah ini mengumpulkan daun-daun pohon surga untuk menutupi aurat keduanya sedapat mungkin, setelah pakaian surga yang indah dan agung lenyap disebabkan memakan buah larangan itu. (Lihat keterangan dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 22).

Nyatalah bagi kita bahwa menutup tubuh dan aurat dengan pakaian, adalah fitrah manusia sejak awal diciptakan. Justru perbuatan membuka aurat adalah suatu perbuatan yang melawan fitrah manusia, menimbulkan malu, sekaligus juga melawan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Manakala Nabi Adam dan Hawa Alaihimas Salam sampai ke dunia ini, setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh dari alam surga yang tinggi, keduanya sekuat tenaga tetap menutupi aurat mereka dengan benda-benda dunia yang dapat dipakai. Sampai akhirnya, Allah menurunkan tiga jenis pakaian agar dapat dikenakan oleh Nabi Adam dan seluruh anak cucunya hingga dunia kiamat. Hal ini ditegaskan Allah dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 26:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu, pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”.

Pakaian Untuk Wanita

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus Allah di kota Makkah, peradaban manusia saat itu sangatlah ‘rusak’. Kaum Jahiliyah di Makkah dan sekitarnya sudah bertahun-tahun terbiasa membuka aurat. Dalam Al Qur’an, Allah menyebutnya dengan “tabarruj al jahiliyyah”, yakni bebas membuka aurat ala jahiliyyah. Lebih seram lagi, saat mereka thawaf mengelilingi Ka’bah Rumah Suci yang Agung itu, mereka bertelanjang melepaskan seluruh pakaiannya. Saat itulah Nabi diperintahkan untuk menda’wah kaum Beliau, khususnya para wanita agar kembali kepada fitrah manusia yang asli, yaitu menutup aurat mereka secara sempurna.

Perintah itu bertahap, dan paling tidak, ada 2 (dua) tahapan besar yang berurutan. Pertama, perintah menutup aurat dengan memakai kerudung yang lebar dan menjulur sampai ke dada. Istilah yang dipakai oleh Al Qur’an adalah “khimar” yang bentuk jamaknya adalah “khumur”. Dan, di dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan kerudung. Dalam syariat Islam, kerudung boleh menampakkan muka dan kedua telapak tangan.

Firman Allah surat An Nur ayat 31:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Artinya: “… dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka,……”

Kedua, firman Allah pada surat Al Ahzab ayat 59:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ

Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

Dalam ayat ini, istilah yang dipakai Al Qur’an adalah “Jilbab” dan dalam bentuk jamak disebut “Jalaabib”. Syariat Islam berdasarkan hadis imam Bukhari mengartikan “Jilbab” sebagai pakaian longgar yang dapat secara sempurna menutup kepala, muka, dan dada.

Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan, paling tidak ada dua jenis pakaian yang wajib dipilih oleh wanita muslimah sebagai penutup aurat mereka, yaitu; “khimar” atau “Jilbab”.

Akhir-akhir ini ada ‘segelintir’ ulama yang memfatwakan bahwa perintah menutup aurat bagi wanita muslimah hukumnya tidaklah wajib. Alasan mereka karena perintah tersebut hanya memakai kata “qul” yang berarti “katakanlah”, bermakna sebuah ‘himbauan’ saja. Dan kata mereka lagi sebuah himbauan itu tentunya boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan.

Kami menentang keras pendapat ini! Sebab, selain menentang hadis-hadis shahih, pendapat ini juga menentang kesepakatan para ulama sedunia selama 1400 tahun lebih. Andaikata setiap kata “qul” yang ada di dalam Al Qur’an dimaknai sebagai sebuah himbauan saja, maka akan hancurlah keimanan seluruh umat Islam sedunia. Salah satu contoh dapat dilihat pada Al Qur’an surat Al Ikhlas, di mana Allah berfirman; “Qul huwallahu ahad”, artinya: “Katakanlah, Allah itu Esa”. Jika kata ‘qul’ pada ayat ini dimaknai sebagai sebuah himbauan saja (sebagaimana dimaknai oleh ‘segelintir’ ulama tersebut), maka berarti umat Islam boleh memilih antara menerima Allah itu sebagai Tuhan satu-satunya atau boleh pula menolaknya dengan menganggap ada banyak Tuhan selain Allah. Alangkah berbahayanya pendapat ‘segelintir’ ulama itu, bukan..?

Akhirnya, marilah kita renungi sebuah hadis Nabi yang mengatakan, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” Artinya, wanita muslimah yang shalihah adalah perhiasan yang paling berharga di dunia ini. Bagaimanakah kita menjaga perhiasan yang paling indah yang tentu sangat mahal harganya itu?

Jika kita memiliki perhiasan yang sangat mahal harganya, pastilah kita akan menyimpannya dalam sebuah kotak yang terjaga baik. Kemudian kotak itu dikunci dan disimpan dalam laci lemari yang kokoh dan kuat. Lemari tersebut pun dikunci pula dengan seksama, dan diletakkan dalam sebuah kamar yang kokoh pula. Kamar itu pun dikunci, dan tidak akan pernah dibiarkan terbuka begitu saja. Kamar tersebut berada di dalam rumah, dan rumahnya pun dikunci pula. Rumah itu berada di dalam pagar yang kuat dan kokoh, yang pagarnya dikunci juga. Tidak sembarangan orang boleh melihat apalagi memegangnya. Inilah permisalan wanita yang shalihah; tersimpan, tertutup, tersembunyi dan dijaga ketat.

Berbeda dengan sebuah kaleng bekas yang tidak bernilai, dia akan bebas diletakkan di mana saja di tempat terbuka, tanpa perlu dijaga, disimpan, apalagi disembunyikan. Pemiliknya sedikitpun tidak merasa risau dan khawatir kalau kaleng bekas itu akan dipandangi orang, atau dipegang-pegang, bahkan bila diambil orang sekalipun.

Wahai wanita muslimah, manakah yang akan anda pilih? Menjadi perhiasan yang bernilai sangat mahal dan indah ataukah lebih memilih menjadi kaleng bekas yang tak ada nilainya?

Wallahu A’lam Bishshowab

Sumber : www.tengkuzulkarnain.net
Read More or Baca Lebih Detil..

Dzikir Menggunakan Tasbih

Berdzikir adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Ada banyak ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang memerintahkan hal itu. Dalam Syari'at Islam, berdzikir adalah sebuah amalan yang penting dan tidak dibatasi jumlahnya. ( Lihat Al-Qur’an, surat al-Ahzab ayat 42).

Namun demikian, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ada juga memerintahkan berdzikir pada bilangan-bilangan tertentu. Misalnya bertasbih 33 kali, memuji Allah 33 kali dan bertakbir 33 kali, pada setiap selesai mengerjakan sholat 5 waktu. Ada lagi hadits shohih yang mana Nabi menjanjikan umatnya yang berdzikir seratus kali La ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahul mulku walahul wamdu yuhyi wa yumit wa huwa 'ala kulli sya-in qadir dengan ganjaran pahala yang seperti membebaskan seratus budak. Dan lain-lain lagi.

Dalam hadits yang lain Rasul bersabda bahwa tiap-tiap manusia memiliki 360 ruas tulang yang tiap-tiap hari perlu disedekahi. Maka salah satu bentuk sedekah pada ruas-ruas tulang itu adalah dengan tasbih kepada Allah……….dan seterusnya sampai akhir hadits..! Dari lafadz haditsnya terlihat bahwa salah satu bentuk amalan harian umat Islam menurut Nabi adalah bertasbih sebanyak 360 kali tiap-tiap hari sebagai sedekah atas tiap ruas tulangnya.

Dari sini, maka dipakailah alat penghitung dzikir untuk memudahkan penghitungannya. Nabi memakai buku-buku jari tangan menghitung dzikir 33 kali selesai sholat. Shahabat Nabi memakai alat-alat yang berbeda. Sayyidatuna Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha memakai tasbih terbuat dari buntalan-buntalan benang untuk menghitung amalan dzikir harian beliau yang memang banyak jumlahnya. Sayyidina Bilal Radhiyallahu 'Anhu memakai biji-biji batu sekarung untuk menghitung dzikir-dzikir harian beliau. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu menggunakan biji-biji kurma untuk menghitung amal dzikir harian beliau. Adalah istri nabi yang lain, Juwairiyah atau Shofiyah sedang berdzikir di rumah beliau sambil memegang biji-biji tamar sebagai alat penghitung. Ini adalah dalil yang shohih mengenai penggunaan tasbih sebagai alat penghitung amalan dzikir yang sudah dipakai sejak zaman Rasulullah saw. (H.R. Abu Daud. Lihat kitab Badzlu Al Majhud Fi Halli Abi Dawud karangan Khalil Ahmad Shaharanfuri Jilid VII halaman 218)

Sementara Sulthan Ulama, Juned Al-Baghdadi Rahimahullahu Ta’ala, seorang ulama sufi yang masyhur memakai tasbih dari untaian biji kayu yang dipakai untuk mengantarkan beliau menjadi seorang wali besar. Juga telah diriwayatkan tentang dipakainya alat penghitung amalan dzikir oleh Al Hasan Al Bashri salah seorang tabi'in terbesar dengan riwayat yang bersambung dari Amru Al Makki, bahwa beliau telah melihat Al Hasan Al Bashri memegang sebuah tasbih. Maka, Amru Al Makki bertanya: “wahai guru besar tuan telah mencapai derajat sedemikian besar dengan ibadah yang begitu baik , akan tetapi kenapa sampai sekarang tuan masih memakai tasbih? Hasan Al Bashri menjawab: “Tasbih ini telah kami pakai beribadat pada awal saat baru mulai belajar beribadah, bagaimana mungkin kami meninggalkannya setelah sampai di penghujung amal? Aku suka bila aku berdzikir pada Allah dengan hati ku, dengan lisan ku dan dengan tangan ku. Abu Abbas berkata inilah keterangan yang nyata dari Al Hasan Al Bashri bahwa pemakaian tasbih telah dikenal di zaman Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, karena tidak diragukan lagi bahwa di awal-awal beliau belajar mengaji adalah pada zaman para Sahabat. (Lihat kitab Badzlu Al Majhud Fi Halli Abi Dawud karangan Khalil Ahmad Shaharanfuri Jilid VII halaman 218)

Hal-hal di atas dan sejenisnya terjadi karena amalan dzikir telah diperintah Allah untuk diamalkan oleh kaum muslimin. Dan, jumlah dzkir pun diperintah dengan SEBANYAK-BANYAKNYA DZIKIR. Dengan demikian, jika ada orang yang mengatakan dzikir itu mestinya sedikit saja, atau ala kadarnya saja, dapat dipastikan orang tersebut telah menentang AL-Qur'an yang mulia!

Kalau ada yang mengatakan: “Amal kok dihitung-hitung….! Bagaimana bisa ikhlas jika amal dihitung-hitung?” Maka jawab kita, bahwa menghitung amalan dzikir ini justru merupakan salah satu perintah Nabi. Ada kalanya 33 kali, ada kalanya 100 kali, ada kalanya 360 kali, bahkan sebanyak-banyak yang umatnya kuat mengamalkannya. Sedangkan menetapkan amalan dzikir pada jumlah tertentu sebagai amalan harian, juga tersirat pada sabdaan Nabi kita dalam hadits yang shohih yang mengatakan; ”amalan yang terbaik itu adalah amalan yang tetap ( dalam arti tidak berubah-ubah jenis maupun jumlahnya), walau amalan itu sedikit!”

Dengan demikian, dari zaman awal Islam sampai saat sekarang ini counter dan berbagai macam tasbih telah dipakai untuk menghitung amalan dzikir harian, oleh banyak kaum muslimin di dunia. Seluruh ulama pun sepakat tidak mengapa memakai alat penghitung amalan ini atas umat Islam, apalagi alat itu dapat memudahkan umat untuk menyelesaikan wirid-wirid mereka dengan baik.

Namun demikian, sekarang ini memang ada segelintir umat Islam yang anti terhadap alat penghitung dzikir dengan mengatakan bahwa alat itu BID'AH. Artinya, mereka yang banyak berdzikir PASTI AKAN MASUK NERAKA hanya karena memakai alat penghitung yang menurut mereka amalan bid'ah itu. Pendapat ini mulanya bertiup dari negara Saudi Arabia, hasil tulisan skripsi seorang Sarjana Muda di salah satu Perguruan Tinggi di sana, yang kemudian diterjemahkan oleh salah satu Percetakan Buku yang ada di Jakarta. Sayangnya, negara yang justru paling BANYAK MENJUAL tasbih dan berbagai alat penghitung dzikir itu adalah negara Saudi pula, khususnya di kota suci Makkah dan Madinah. Sementara ulama-ulama negara tersebut nampaknya setuju dengan pendapat ulama sedunia yang menganggap alat-alat itu tidak haram dan boleh digunakan. Buktinya, para ulama Saudi Arabia tidak mencegah beredarnya benda-benda yang kata segelintir mereka itu “bid'ah” di negara mereka.

Wallahu A'lam Bishshowab

Sumber; www.tengkuzulkarnain.net

Read More or Baca Lebih Detil..

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

This blog clearly created and dedicated for sharing all knowledge about Islam. Any people, moslem and or non muslim, strongly recommended to read. Have a nice reading.

Pengikut

Lorem Ipsum


Anda Bertanya, Kami Coba Carikan Jawabannya

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP